Latah Pun Mampu Diterapi

 Jumat, 27/01/2012 06:00 WIB

 Seorang terapis wicara sebenarnya dapat memberikan terapi lebih dari sekadar mengajarkan bicara yang baik dan normal. Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa terapis wicara memiliki beberapa ranah yang dapat diatasinya berkaitan dengan gangguan komunikasi. Menurut terapis wicara RS PKU Muhammadiyah Surakarta, Noor Zakiah D AMD TW, gangguan komunikasi karena suara termasuk di dalamnya gangguan pada nada, kualitas suara dan kenyaringannya. “Misalnya pada kasus post laringektomi atau seseorang setelah melakukan operasi pengangkatan laring atau pita suara. Untuk menanganinya dapat diberikan terapi mengganti suara dari pita suara dengan teknik bicara esofagus atau sendawa,” ungkapnya.

Selain itu, seseorang yang mengalami gangguan menelan juga dapat memperoleh layanan terapis wicara. Gangguan menelan banyak terjadi pada pasien yang umumnya telah mengalami serangan stroke (post stroke). Pascastroke, pasien cenderung mengalami gangguan pada saraf menelannya atau disfagia. Beberapa gejala kesulitan menelan yang ditunjukkan adalah ngeces atau drooling sewaktu-waktu, kemudian jika makan atau minum sering tersedak, lalu sakit ketika menelan atau bahkan tidak dapat menelan sama sekali.

Zakiah menuturkan, seseorang yang gagap dan latah juga dapat diterapi atau disembuhkan. Pasalnya, gagap dan latah termasuk dalam gangguan irama kelancaran komunikasi. Selain gagap dan latah, masih ada gangguan irama kelancaran lain yakni cluttering di mana seseorang memiliki masalah dengan kecepatan bicara yang melebihi kecepatan bicara pada umumnya. “Sayangnya, kecepatan bicara tersebut tidak diikuti dengan pemahaman yang sesuai. Biasanya ditandai dengan tidak dapat dikontrolnya setiap kata yang diucapkan. Selain itu, mereka yang mengalami gangguan cluttering sering tidak memahami apa yang dia katakan,” imbuh Zakiah.

Sementara itu, sebelum memberikan terapi, seorang terapis akan melakukan penegakan diagnosis gangguan komunikasi. Penegakan diagnosis diawali dengan assesment untuk memperoleh data-data yang diinginkan, kemudian analisa data dan penegakan diagnosa berdasarkan data tersebut. Dalam hal ini, penanganan atau pemberian terapi pada kasus gangguan komunikasi disesuaikan dengan masing-masing kondisi pasien.

Triawati Prihatsari Purwanto – Joglosemar