Terapis Wicara, Tak Hanya Ajarkan Cara Bicara

Jumat, 27/01/2012 06:00 WIB 

 Selama ini, apa yang ada dalam benak pikiran kita jika mendengar kata terapis wicara? Sepertinya hanya seseorang yang mengajarkan bicara pada orang yang mengalami kesulitan bicara. Ataukah ada pengertian lain? Mungkin kurang lebih seperti itu. Padahal, seorang terapis wicara melakukan tugas lebih dari itu. Akan tetapi, faktanya kebanyakan masyarakat tidak mengetahui hal tersebut.

Terapis wicara RS PKU Muhammadiyah Surakarta, Noor Zakiah D AMD TW, saat ditemui Joglosemar, Kamis (26/1), di ruangannya, mengatakan “Selama ini hampir sebagian besar masyarakat mengetahui bahwa seorang terapis wicara bertugas  mengajarkan bicara seseorang yang mengalami kesulitan bicara. Padahal seorang terapis wicara bisa melakukan lebih dari itu. Karena ranah atau bidang yang dapat ditangani seorang terapis wicara tidak sekadar mengajarkan bicara saja,” ungkapnya.

Terapi wicara sendiri adalah terapi untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan komunikasi pada anak-anak atau dewasa yang mengalami gangguan komunikasi baik dari segi bahasa dan bicara. Gangguan komunikasi tersebut dapat disebabkan oleh banyak faktor, mulai dari gangguan sistem saraf pusat, kerusakan pendengaran, kelainan anatomi fisiologi organ wicara hingga kesalahan lingkungan. Sedangkan terapis adalah seseorang yang memberikan program atau terapi tersebut. Seorang terapis wicara memiliki ranah yakni memberikan terapi untuk gangguan pada oral motor, gangguan artikulasi pengucapan kata, gangguan bahasa, gangguan suara, gangguan menelan dan gangguan irama kelancaran.

Zakiah menambahkan, seseorang yang mengalami gangguan komunikasi yang datang untuk menjalani terapi bisa berasal dari rujukan ahli seperti dokter spesialis saraf, dokter spesialis anak, dokter spesialis THT atau bahkan dokter rehab medik.  Atau bisa juga seorang pasien yang datang dengan inisiatifnya sendiri. “Biasanya, pasien yang datang dengan inisiatif sendiri  telah merasa dirinya mengalami gangguan komunikasi. Atau setidaknya lingkungan sekitarnya juga merespons bahwa dirinya mengalami gangguan komunikasi. Dan tentunya gangguan tersebut sudah cukup mengganggu interaksi sosialnya,” imbuh Zakiah.

Selain itu, seseorang yang mengalami gangguan komunikasi karena memiliki masalah pada oral motornya, termasuk di dalamnya yaitu gangguan pergerakan otot bicara seperti rahang, lidah, mulut, langit-langit keras dan langit-langit lunak. Beberapa contoh kasus yang memiliki masalah pada oral motornya adalah diakibatkan oleh serangan stroke, di mana pada penderita stroke biasanya otot bicaranya mengalami kelemahan.

Sedangkan gangguan komunikasi yang kedua yang disebabkan oleh kelainan artikulasi atau pengucapan kata terbagi menjadi empat jenis yakni subtitusi, omisi, distorsi dan adisi. Jenis gangguan substitusi merupakan gangguan artikulasi dengan adanya penggantian huruf pada kata yang diucapkan yang tidak dapat diterima lingkungan. Misalnya kasus pada seorang dengan lidah cedal atau celat sehingga mengucapkan kata “rumah” menjadi  “lumah”. Pada kasus tersebut, orang cedal mengganti hurup “r” dengan huruf “l” karena tidak mampu mengucapkan huruf “r”. Sedangkan gangguan artikulasi omisi, merupakan gangguan artikulasi dimana seseorang menghilangkan huruf pada suatu kata. “Misalnya kata “kaki” menjadi “ai” karena konsonan “k” tidak dapat diucapkan. Biasanya hal ini terjadi pada anak dengan kasus down syndrom atau mental retardasi di mana IQ-nya di bawah rata-rata. Mereka kebanyakan kehilangan huruf konsonan atau beberapa konsonan sulit diucapkan,” penjelasan dari Zakiah.

Kemudian gangguan distorsi pada artikulasi atau pengucapan kata adalah gangguan dengan pengucapan yang kurang sempurna atau kurang jelas. Selanjutnya, gangguan adisi merupakan gangguan dengan penambahan huruf seperti “kursi” menjadi “kuresi” dimana memperoleh tambahan huruf “e” setelah huruf “r”. Selain gangguan artikulasi, gangguan berikutnya adalah gangguan bahasa termasuk di dalamnya yaitu afasia atau gangguan bahasa karena kerusakan sistem saraf pusat. Jenis afasia sendiri secara umum dibagi menjadi dua jenis yaitu afasia motorik di mana seseorang mengalami kesulitan bicara, akan tetapi pemahamannya pada suatu hal masih dalam keadaan baik.
Lalu afasia sensorik yakni gangguan di mana seseorang cenderung memiliki pemahaman tentang suatu hal yang buruk, namun memiliki kemampuan bicara yang baik. “Contoh kasusnya bisa terjadi  pada orang dewasa seperti pada seseorang yang terkena stroke dan pada masa perkembangan  seperti pada anak-anak dengan hidrosefalus atau meningitis,” tandas Zakiah.

Triawati Prihatsari Purwanto – Joglo Semar