Terapis Wicara Bukan Tukang Pijat

Kendati sedikit grogi, Noor Zakiah Darojat (24 tahun), akhirnya mampu menyampaikan pendapat dan gagasannya ketika tampil sebagai pembicara dalam seminar awam Deteksi Dini dan Terapi Gangguan Pendengaran Anak di RS PKU Muhammadiyah Surakarta, Solo, beberapa waktu lalu.

Awal tampil, gadis kelahiran Kabupaten Boyolali ini mengenalkan profesinya sebagai speech therapist atau terapi wicara. Lulusan Diploma III Terapi Wicara dari Poltekes Solo ini, selain berdinas di RS PKU Muhammadiyah, juga aktif di SLBN Cepogo, Boyolali dan Klinik Insan Sejahtera.

Terkait hal itu, masyarakat banyak yang kemudian menanyakan ihwal profesinya sebagai terapi wicara. “Saya pernah ditanya, apa bisa memijat? Karena istilah terapi banyak urusan dengan pijat-memijat. Saya ini bukan tukang pijat,” kata Noor disambut tawa peserta seminar yang kebanyakan kaum ibu.

Ada juga yang bertanya, apakah pekerjaannya menjadi tukang bahasa isyarat? Terhadap pernyataan ini, juga tidak ia benarkan. Pekerjaan terapi wicara justru mengurangi penyampaian bahasa isyarat. Justru memperbanyak latihan organ alat bicara, untuk memperlancar bicara.

Terapi wicara, menurut Noor, merupakan tindakan yang diberikan kepada sesesorang, baik itu dewasa maupun anak, yang mengalami gangguan bahasa, gangguan pengucapan konsonan kata, gangguan suara, gangguan irama kelancaran bicara, dan gangguan menelan.

Latihan apa saja yang diberikan terapis wicara terhadap tuna rungu? Antara lain latihan organ bicara, penguatan otot, penguatan otot lidah. Juga latihan mendengar, bahasa, kemampuan lisan.

Dijelaskan, faktor keberhasilan terapi ditentukan dengan memakai alat bantu dengar atau koklea implant, IQ diatas rata-rata, kooperatif anak, dukungan keluarga, dan kemampuan terapis. (Edy Setiyoko / Republika 10 April 2013)