Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan seseorang untuk mendengarkan suara pada salah satu telinga ataupun kedua telinga. Gangguan ini dapat terjadi pada anak-anak maupun orangtua. Jika gangguan pendengaran ini dialami oleh anak-anak terlebih ketika masih berusia bayi, maka gangguan pendengaran tersebut bisa memicu gangguan bahasa pada anak.
Terapis Wicara Rumah Sakit (RS) PKU Muhammadiyah Surakarta, Noor Zakiah Darojat, A.Md.TW mengatakan, manusia memiliki alat pendengaran yang bisa disebut telinga. Dimana, telinga ini memiliki banyak fungsi. Dari segi komunikasi, telinga berfungsi sebagai penangkap pesan atau informasi dari suara yang kemudian diproses di otak, kemudian dikeluarkan dalam bentuk tindakan maupun bicara sebagai respon atas pesan yang diterima. Sehingga terjadilah interaksi antara manusia atau interaksi sosial. Jika alat pendengaran dalam hal ini telinga mengalami gangguan pendengaran, maka akan terjadi ketidaklancaran saat menerima informasi. Secara umum, gangguan pendengaran berdasarkan beratnya gangguan pendengaran dibagi menjadi 3. Diantaranya yaitu gangguan pendengaran ringan, gangguan pendengaran sedang dan gangguan pendengaran berat. Untuk kondisi gangguan pendengaran ringan, mungkin tidak begitu terlihat. Karena pada gangguan pendengaran ringan masih mampu mendengar suara yang lebih keras dari kondisi normal. Namun untuk gangguan pendengaran berat, suara akan sulit didengar bahkan tidak mampu mendengar sama sekali. Sehingga pesan atau informasi yang berasal dari gelombang suara tidak tersampaikan ke dalam otak. Dan hal ini akan mengganggu komunikasi seseorang.
“Pada anak-anak, apabila mengalami gangguan pendengaran berat tanpa ada penanganan yang tepat, maka anak akan mengalami tuna wicara,” kata Zakiah.
Untuk itulah, kita perlu mengetahui dengan mendeteksi dini gangguan pendengaran pada anak sedini mungkin. Ini dilakukan supaya mendapatkan penanganan yang tepat apabila anak memang mengalami gangguan pendengaran. Saat ini di banyak negara mulai melakukan skrining pendengaran sedini mungkin pada bayi baru lahir mulai usia 24 jam bila lahir di Rumah Sakit (RS) atau 1 bulan bila lahir di luar RS. Salah satu skrining di RS disebut Universal Newborn Hearing Screaning (UNHS). Skrining ini dilakukan pada semua bayi untuk mendeteksi gangguan pendengaran tanpa melihat faktor resiko atau gejalanya. Skrining ini menggunakan Otoacustic Emissions (OAE), Auditory Brain Stem Response (ABR) atau kombinasi keduanya.
Lantas apa yang menjadi penyebab dari gangguan pendengaran ini? Penyebab gangguan pendengaran sendiri memiliki banyak faktor. Gangguan pendengaran bisa dapat disebabkan karena faktor genetik maupun faktor didapat. Untuk faktor didapat diantaranya yaitu bisa karena terserang infeksi seperti Rubella kongenital, toksoplasmosis, meningitis bakteri dan virus herpes. Selain itu, saat proses kelahiran terjadi prematuritas, anoksia berat (kekurangan oksigen) dan hiperbillirubbin (kuning).
“Tak ada salahnya bagi pasangan yang ingin merencanakan kehamilan untuk melakukan pemeriksaan baik itu Rubella maupun toksoplasma. Kalau hasil pemeriksaan positif, maka infeksi tersebut bisa diobati terlebih dahulu sebelum terjadi kehamilan,” ujar Zakiah.
Apabila sejak bayi sudah terdeteksi mengalami gangguan pendengaran, maka dapat segera dilakukan penanganan lebih dini. Untuk penanganan yang dilakukan bisa dengan penanaman koklea atau pemakaian Alat Bantu Dengar (ABD). Hal ini tentu akan sangat membantu ketika bayi memasuki fase perkembangan bahasa dan bicara.
Sebaliknya, jika gangguan pendengaran pada anak tidak terdeteksi sejak dini maka bisa memicu gangguan bahasa pada anak. “Kalau diketahui anak sudah besar, maka kemampuan bahasanya akan terlambat sekali. Penting sebagai orangtua untuk mendeteksi gangguan pendengaran pada anak sejak dini,” pungkas Zakiah. ( Dwi Hastuti, Joglosemar 5 Februari 2015)